Berita Muratara — Fenomena ujaran kebencian di media sosial kembali memanas. Sejumlah unggahan bernada hinaan, fitnah, hingga provokasi kini semakin mudah ditemukan di berbagai platform, bahkan dilakukan secara terbuka oleh akun-akun yang memiliki banyak pengikut.
Penggiat media sosial di Musi Rawas Utara menilai kondisi ini sudah masuk tahap mengkhawatirkan. Pasalnya, bahasa-bahasa kasar yang beredar luas justru ditonton oleh banyak anak di bawah umur. “Ini bukan soal beda pendapat lagi. Sudah mengarah ke pembunuhan karakter dan memancing permusuhan,” kata salah satu pemerhati digital di Muratara, Jumat.
Menurutnya, ujaran kebencian adalah bentuk kekerasan yang sangat jahat karena dampaknya tidak selalu terlihat langsung. Korban bisa mengalami tekanan psikologis, ketakutan, hingga trauma. Sementara pelakunya seakan merasa bebas karena bersembunyi di balik layar ponsel.
“Cuma gara-gara satu komentar pedas, bisa pecah konflik. Saling balas, saling hina, dan akhirnya menyeret nama baik keluarga atau kelompok tertentu,” ujarnya.
Ia menegaskan, normalisasi ujaran kebencian sangat berbahaya. Jika terus dibiarkan, generasi muda akan menganggap bahasa kasar sebagai hal wajar. “Ini harus dihentikan. Jangan sampai ruang digital kita dipenuhi kebencian.”
Pihaknya juga mengingatkan bahwa penyebaran ujaran kebencian jelas diatur dalam UU ITE dan bisa diproses hukum. “Jangan merasa aman. Apa yang Anda tulis di internet tetap bisa dipertanggungjawabkan.”
Masyarakat diminta lebih bijak dalam menggunakan media sosial, terutama dalam menyampaikan kritik. “Silakan kritik, tapi jangan menyerang pribadi, jangan memecah belah, apalagi menghasut kebencian. Kita perlu jaga ruang digital tetap sehat,” katanya. (Zm)
Pewarta: Zm
Editor : Ario





